Categories
Edukasi

Memangkas Kesenjangan antara Kompetensi Lulusan dan Kebutuhan Dunia Kerja

Jakarta – Sembari meneguhkan visi Indonesia emas pada tahun 2045 dan menghadapi tahun 2030 hingga 2040 dimana Indonesia akan mengalami bonus demografi, Indonesia perlu melakukan persiapan lebih lanjut. Pada saat itu, penduduk usia kerja (15-64 tahun) akan melebihi penduduk usia tidak bekerja (65 tahun ke atas), yang mewakili lebih dari 60% total penduduk Indonesia.

Jika tidak dibarengi dengan sumber daya yang cukup dan berkualitas, Indonesia akan kehilangan vitalitas pembangunan ekonomi dan pencapaian visi pembangunan berkelanjutan (Goals of Sustainable Development).

Hasil survei OECD tahun 2016 (The Survey of Adult Skills) menunjukkan adanya kesenjangan antara keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja dengan keterampilan siswa lulusan sistem pendidikan di dunia saat ini. Dalam survei yang sama juga disebutkan bahwa ada 3 (tiga) keterampilan utama yang dibutuhkan orang dewasa di dunia kerja, yaitu literasi, membaca, dan memecahkan masalah di lingkungan teknologi.

Berdasarkan hasil survei, Indonesia menduduki peringkat terakhir. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurangnya bekal pengetahuan yang memadai pada jenjang pendidikan yang menjamin lulusan siap bekerja. Gelar tidak menjamin lulusan akan mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga terjadi kesenjangan antara kualitas lulusan dengan apa yang dibutuhkan dalam dunia kerja, atau yang sering disebut dengan ‘Global Achievement Gap’.

Dalam Talk Show “Closing the Achievement Gap”, KADIN Education Hub menghadirkan sebuah platform dimana para ahli dari berbagai bidang berpartisipasi untuk secara kolektif menjawab bagaimana cara mengatasi dan melibatkan pemangku kepentingan pendidikan yang dapat dilakukan untuk menutup kesenjangan tersebut.

Acara yang diselenggarakan di BINUS International University – Kampus JWC ini menghadirkan narasumber: Faisal Basri (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Ekonom dan Politisi), Armand W. Hartono (Vice President PT. Bank Central Asia ). , Tbk), Dharma Syahputra (Sekjen, Forum Human Capital Indonesia) dan Antarina SF Amir (Pendiri dan CEO HighScope Indonesia Institute, Ketua Komite Pendidikan Dasar dan Menengah – KADIN, penulis Life Skills for All Students: How to Teach , Menilai dan membumikan landasan baru pendidikan). Acara ini dimoderatori oleh Andre Mulpyana (mewakili WKU Pendidikan dan Kebudayaan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia).

Di bidang industri, Armand W. Hartono menyampaikan bahwa perbedaan perbedaan tersebut tidak bisa sepenuhnya dimasukkan ke dalam kurikulum, banyak faktor yang perlu diperhatikan agar pihak industri dan perusahaan juga dapat turut andil dalam memunculkan perbedaan tersebut. melalui berbagai bentuk. Artinya seperti beasiswa. pelatihan dan kemitraan dengan perusahaan.

“Kalau bicara menutup kesenjangan itu harusnya dari semua sisi, bukan hanya kurikulum saja, tidak ada yang namanya kurikulum yang benar,” kata Armand. “Di BCA, kami berprinsip bahwa perusahaan aktif bekerja sama dengan universitas dan sekolah menengah atas untuk mempersiapkan karyawan masa depan. Minimal Anda sudah siap bekerja ketika bergabung dengan BCA,” imbuhnya.

Armand mengatakan, pendidikan juga menekankan pada pengembangan karakter dan nilai-nilai budaya agar setiap orang dapat bertanggung jawab, aktif, dan mandiri. Ia menambahkan: “Masyarakat membutuhkan komunitas, mereka perlu menyebarkan virus pemikiran positif satu sama lain untuk menjadi inspirasi. Ekosistem seperti ini diperlukan untuk membangun industri.”

Dari sisi SDM, Dharma Syahputra memberikan pemahaman mendalam mengenai perubahan tempat kerja. Perusahaan kesulitan merekrut karyawan potensial karena cepatnya perubahan kebutuhan dan keterampilan khusus yang diperlukan, seperti analisis ilmu data, spesialis bioteknologi, penyedia layanan kesehatan digital, dan lain-lain.

“Memang benar ada bonus statistik. Dari sisi supply, angkatan kerja dan pencari kerja sangat besar,” ujar Dharma. “Di sisi demand, sebenarnya berdasarkan riset, tantangan yang dihadapi perusahaan adalah menemukan kualitas yang baik itu sulit. Apa yang telah terjadi? Saya pikir laju perubahannya luar biasa. “Saya melihat tren pekerjaan on-demand menjadi lebih terspesialisasi,” lanjutnya.

Calon karyawan juga perlu memahami perubahan yang dibutuhkan dalam industri, seperti saat ini, ketika perusahaan di berbagai industri mencari karyawan dengan keterampilan teknis dan energi terbarukan.

Faisal Basri mengutarakan pandangannya sebagai seorang ekonom dan juga seorang dosen universitas. Ia mengatakan, pertama-tama, pendidikan harus memperkuat keterampilan dasar seperti matematika, membaca dan menulis sehingga siswa dapat memperoleh manfaat dari berbagai aspek.

Perlu diketahui bahwa perguruan tinggi pada umumnya menghadapi kendala karena harus bekerja dengan bahan baku (baca: sumber daya) yang rendah, sehingga proses ini nampaknya sangat sulit diorganisasikan oleh mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang sukses” ujarnya Faisal Basri.

“Pada tahun 2022, nilai literasi, matematika, dan sains [Indonesia] akan berada di bawah tahun 2000. Penurunan ini terjadi sejak tahun 2015, sehingga akan terus menurun. Terakhir meningkat pada tahun 2009 hingga 2015. Ini juga menjadi pembelajaran bahwa pembangunan harus dilakukan. sekali lagi berikan prioritas pada manusia, bukan pada hal-hal fisik. Jalan sepanjang ribuan kilometer akan masuk akal jika manusia tidak bekerja untuk hal tersebut.”

Selain itu juga terjadi persaingan antara pendidikan formal dan akreditasi mikro, dimana berbagai institusi seperti Google memfasilitasi pendidikan dan sertifikasi dalam bentuk kursus singkat. Perguruan tinggi juga harus mampu menawarkan kualifikasi dengan menciptakan kemitraan antara organisasi pendidikan tinggi dan pemerintah daerah.

Antarina SF Amir mengatakan untuk menutup kesenjangan prestasi global, sistem pendidikan harus berubah untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Sistem pendidikan saat ini belum mengikuti perubahan dan perkembangan dunia dan kita masih menggunakan sistem 100 tahun yang lalu. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan fokus pada pengembangan keterampilan hidup dasar secara terencana dan terorganisir.

Kecakapan hidup dasar merupakan landasan utama bagi peserta didik, yang kemudian ditunjang dengan keterampilan teknis untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan global. “Menurut World Economic Forum, akan ditentukan sepuluh keterampilan teratas yang dibutuhkan pekerja pada tahun 2030,” kata Antarina.

“Hidup itu tentang pengambilan keputusan; Sayangnya di perguruan tinggi, para guru kami merasa siswanya masih bermasalah dengan keterampilan dasar, sehingga kesulitan menyerap pengetahuan konseptualnya,” tambahnya.

Itu sebabnya Antarina menulis Kecakapan Hidup untuk Semua Siswa: Cara Mengajar, Menilai, dan Mengkomunikasikan Fondasi Baru Pendidikan, yang berbagi model yang telah terbukti dalam mengajarkan, menilai, dan melaporkan kecakapan hidup yang penting dalam pendidikan.

Baca artikel edukasi menarik di tautan ini. Program beasiswa studi universitas di Jepang, gratis dan mendapatkan uang saku Rp 12 juta per bulan Kedutaan Besar Jepang menawarkan beasiswa kepada pelajar Indonesia yang telah menyelesaikan SMA/SMK sederajat untuk melanjutkan studi di universitas Jepang. bachkim24h.com.co.id 20 April 2024